Beruntung minggu malam ini terminal agak sedikit ramai, begitu juga dengan warung makan Cak Nun. Warung tegal sederhana di sudut terminal yang biasa menjadi tempat para supir hingga pedagang asongan beristirahat tuk mangkir sebentar di tengah-tengah kesibukan.
Malam ini, lebih banyak orang yang berdatangan memesan makanan ataupun sekadar minuman untuk melepas dahaga di antara sesaknya orang-orang yang tak sabaran berembuk masuk ke dalam bus tujuan masing-masing, maklum sebentar lagi hari raya.
Aku jadi sedikit kewalahan dengan segala macam alat makan yang terus berdatangan ke dapur, bahkan tak jarang dalam sekali antar bisa ada satu tumpukan piring yang menjulang.
“Pulanglah, Uf! Sudah malam,” Cak Nun berdecak kesal dengan tangannya yang bertolak di pinggang. Ini sudah hampir keempat kalinya ia menuturkan kata itu. Aku menilik ke arahnya, alisnya itu menukik tajam seolah-olah sebentar lagi akan bersatu padu seperti biasanya. Itu sudah menjadi ciri Cak Nun, membuatnya tak jarang disegani banyak orang. Pun orang lain akan berpikir seribu puluh kali untuk berhutang di warungnya. Sekali lagi aku hanya terkekeh kecil, “tanggung, Cak,” jawabku sembari menyusun piring-piring dengan perlahan.
“Bisa marah bapakmu itu,” Deg, seketika jantungku seolah dihimpit dengan tulang dadaku sebegitu kerasnya. Kata andalan Cak Nun setiap kali aku menolak pulang cepat benar-benar seakan seperti mantra untukku. Gerakanku perlahan semakin pelan dan pelan masih dengan kalimat itu yang mengalun di benak. Walaupun sebenarnya kalimat itu tidak sepenuhnya benar, bisa saja bapak tidak pulang malam ini. Mengingat ini sudah hari kedua sejak Beliau pergi, apalagi ini malam minggu. Mungkin uangnya masih cukup tersisa untuk bertaruh.
“Cak, Bang Rauf ada?!” Suara cempreng itu mengudara dari depan hingga menembus ke dapur. ”Jaya sudah pulang, ya?” Cepat-cepat aku membasuh tanganku sekali lagi, memastikan sudah bersih. Cak Nun sudah lebih dulu keluar menghampiri anak itu, pun aku menyusulnya.
“Rauf,” Cak Nun memanggil, tangannya sibuk membenahi ini itu. Entah apa. Lalu, sekantung plastik merah besar dengan amplop putih tebal diserahkannya kepadaku. Sekali lagi, kepadaku. Aku mendelik menatap Cak Nun tak percaya, “Ambil ini, itung-itung bonus lembur kau hari ini,” mataku semakin terbelalak lebar sempurna layaknya anak kucing jalanan yang meminta belas kasihan. Sepatah dua kata masih belum bisa aku ucapkan, seakan semuanya tertahan di tenggorokan. “Cak—” belum sempat aku bicara, Cak Nun menyelak “Maaf, cuma bisa kasih sedikit, ya?” Katanya ringan, “Kebanyakan, Cak”, Cak Nun terkekeh, “Sudah, sudah.
Nungguin adik kau–nya itu,” ia membalikkan tubuhku dan memegang kedua bahuku menuntun perlahan. Sungguh, aku dibuat mendadak bisu dan pikiranku kosong melalang buana kesana-kemari. Senang, sedih, bahagia, haru, entahlah. Semua melebur menjadi satu. Bahkan, aku belum sempat berterimakasih kepada Cak Nun.
Aku takut jika suatu hari nanti aku masih belum bisa juga untuk membalas semua kebaikan cak Nun. Begitu besar, begitu banyak. Dengan cak Nun yang menerima ku untuk bekerja di warung makannya saja itu sudah menjadi sebuah kebaikan yang teramat.
“Cak Nuuuunnn!” Anak itu berseru panjang, mungkin kesal sang empunya nama belum juga menampakkan batang hidungnya. Mulutnya mengerucut kedepan sembari duduk melipat tangan di meja pelanggan, “abang kau ini, kalau gak aku suruh pulang sampai menginap pun
jadi dia,” Cak Nun tak hentinya menepuk bahu kiri ku sembari merangkul erat. “Oh, iya. Sudah makan kau Jay?” Cak Nun langsung beranjak. Jaya masih dengan bibir kerucutnya menggeleng pelan. Sebenarnya aku bisa saja menolak, karena bingkisan dari cak Nun saja sudah lebih dari cukup. Tetapi dengan melihat cak Nun yang terlihat begitu semangat menawari Jaya ini itu,
aku jadi lebih tak enak hati untuk menolak.
***
“Makasih, cak. Besok kita kesini lagi!” Jaya berseru girang dari jok belakang sepeda ontel yang kami tunggangi menuju rumah. Cak Nun dari daun pintu warungnya tampak membalas lambaian tangan Jaya. Menjauh dan semakin menjauh hingga warung cak Nun tak lagi terlihat ketika kami melewati gerbang terminal.
Angin malam berembus, saling membelai. Juga jalan raya semakin sepi, tetapi justru semakin banyak pengendara yang seenaknya melenggang dengan kecepatan tinggi. Pedagang kali lima di sisi jalan tidak lagi seramai sore tadi, pun pasar malam tidak lagi banyak orang yang berlalu lalang. Lampu-lampu jalanan, baliho dan senandung Jaya menemani kami sepanjang jalan.
Aku tidak tahu pasti Jaya menyanyikan lagu apa, tapi itu cukup sering terdengar di gerobak tukang roti.
“gimana tadi? Gak ada penertiban ‘kan?” Aku memulai percakapan. Kalimat yang sudah seperti keharusan ketika Jaya pulang sedari menjajakan makanan-makanan ringan nya di luar terminal. Sebab, anak itu tidak akan pernah mau mulai mengadu terlebih dulu sebelum ada yang bertanya, ia akan lebih memilih untuk menyimpan itu sendiri walaupun akhirnya aku tahu karena ia akan menangis di awal tidurnya. Takut bang Rauf marah katanya. “Hah? Oh, gak ada, tuh” Anak itu kembali dengan senandungnya setelahnya.
“Bang,” Panggil Jaya. Cukup lama aku menunggu kalimat Jaya selanjutnya, lalu “Gak jadi, deh,” suaranya yang mengecil di ujung seolah mencicit tertunjuk gugup, “Kenapa?” Selalu, selalu begitu dan aku tidak suka. Jaya memang anak yang cukup cerewet bahkan ia bisa berbicara sepanjang jalan pulang jika ia sedang mau, tetapi juga sangat jarang berbicara soal perasaannya sendiri kecuali jika aku memancingnya. Itupun tidak mudah. “Aku pengen sekolah, bisa gak, ya. Bang?” Ia berbicara dengan hampir berbisik, tetapi kalimat itu terjerumus cukup dalam di dada. Ludah kutelan kasar, masih juga belum berani membuka mulut. Ketakutan ku yang sepanjang malam menemani ramai di kepalaku akhirnya terkabul nyata.
“Bisa, kok, kenapa enggak?”
“Serius, bang?!” Jaya tersentak girang dengan begitu roda sepeda dibuatnya berkelok tak tentu hampir jatuh. Oh, Rauf. Tidakkah kau mendengarnya? Kau sudah menaruh harapan
besar. Ku harap kau bersungguh-sungguh—batinku. “Iya, pasti, Jay.” jawabku mantap, “Kapan?” Aku termangu. Semoga segera, Jay. Ucapku dalam hati. Tanpa sadar suasana melankolis juga turut menjadi teman pulang kami di antara percakapan- percakapan tadi. Ah, malam mingguku sayang. Seharusnya riang menjadi suasana utama malam ini. “Kita beli es krim, yuk?” Seruku lantang, “Ayo!” Jawaban hangat itu menjadi bahan bakar yang membantu sisa tenaga ku malam minggu ini. Aku mengayuh dengan semua tenagaku membuat sepeda kami berjalan agak terseok-seok kanan kiri sembari tawa receh menjadi musik pengiring.
Begitulah percakapan sepanjang jalan pulang yang terus mengalir. Percakapan yang tidak tahu kapan bisa terbayar di muka. Semoga kalimat kita melambung tinggi, Jay. Tuhan mendengar. Ku doakan paling serius.
Penulis : Elina Julianti
No Comments
Leave a comment Cancel