DAMPAK DISORGANISASI
KELUARGA BAGI REMAJA
Chandra Hadi Surya,
Faisal Hidayah,
Dimas Putra Setyawan
Sarjana Komunikiasi Penyiaran Islam IAIN Ponorogo
Abstrak
Disorganisasi keluarga menjadi masalah yang semakin relevan dalam masyarakat modern. Artikel ini bertujuan untuk menyajikan tinjauan literatur tentang dampak disorganisasi keluarga bagi remaja. Dalam penelitian ini, disorganisasi keluarga didefinisikan sebagai ketidakstabilan, konflik, dan kurangnya komunikasi yang signifikan antara anggota keluarga. Tinjauan literatur ini meneliti beberapa dampak disorganisasi keluarga terhadap remaja. Pertama, disorganisasi keluarga dapat berdampak negatif pada kesejahteraan emosional remaja. Kurangnya dukungan emosional dan konflik rumah tangga dapat menyebabkan stres, kecemasan, dan depresi pada remaja. Selain itu, disorganisasi keluarga juga dapat berkontribusi pada masalah perilaku seperti perilaku agresif, penyalahgunaan zat, dan perilaku seksual yang tidak aman.
Kata Kunci : Disorganisasi Keluarga,Remaja,Emosional
Abstract :Family disorganization is becoming an increasingly relevant problem in modern society. This article aims to present a literature review on the impact of family disorganization on adolescents. In this study, family disorganization is defined as significant instability, conflict, and lack of communication between family members. This literature review examines some of the effects of family disorganization on adolescents. First, family disorganization can have a negative impact on adolescent emotional well-being. Lack of emotional support and domestic conflict can cause stress, anxiety, and depression in adolescents. In addition, family disorganization can also contribute to behavioral problems such as aggressive behavior, substance abuse, and unsafe sexual behavior.
Keywords: Family Disorganization, Adolescent, Emotional
Pendahuluan
Keluarga merupakan lingkungan utama bagi perkembangan dan pertumbuhan remaja. Dalam keluarga yang terorganisasi dengan baik, remaja dapat mengembangkan keterampilan sosial, emosional, dan akademik yang penting untuk masa depan mereka. Namun, sayangnya, tidak semua remaja memiliki keberuntungan tersebut. Disorganisasi keluarga, yang mencakup ketidakstabilan, konflik, dan kurangnya komunikasi yang signifikan antara anggota keluarga, dapat memiliki dampak yang merugikan bagi perkembangan remaja.
Dalam beberapa dekade terakhir, fenomena disorganisasi keluarga semakin sering terjadi dalam masyarakat modern. Faktor-faktor seperti urbanisasi, perubahan budaya, pekerjaan yang menghabiskan banyak waktu, dan tekanan ekonomi dapat menyebabkan disorganisasi dalam keluarga. Dalam konteks ini, penting untuk memahami dan mengidentifikasi dampak yang ditimbulkan oleh disorganisasi keluarga terhadap remaja.
Penelitian sebelumnya telah mengungkapkan berbagai dampak negatif yang timbul akibat disorganisasi keluarga terhadap remaja. Kesejahteraan emosional remaja dapat terganggu, dengan munculnya stres, kecemasan, dan depresi akibat kurangnya dukungan emosional dan seringnya konflik dalam lingkungan keluarga mereka. Selain itu, disorganisasi keluarga juga dapat mempengaruhi perkembangan sosial remaja, menyebabkan kesulitan dalam membangun hubungan interpersonal yang sehat dan memahami norma sosial yang berlaku.
Dalam hal prestasi akademik, remaja yang berasal dari keluarga yang tidak teratur sering menghadapi tantangan dalam belajar akibat kurangnya dukungan dan perhatian dari orang tua. Selain itu, mereka juga berisiko lebih tinggi terlibat dalam perilaku berisiko seperti penyalahgunaan zat atau pergaulan dengan teman sebaya yang negatif.
Pemahaman tentang dampak disorganisasi keluarga pada remaja sangat penting dalam rangka merancang intervensi yang efektif dan mendukung perkembangan mereka. Dengan melibatkan dukungan keluarga, peningkatan komunikasi, dan peningkatan keterampilan pengasuhan, upaya pencegahan dan perbaikan hubungan keluarga dapat membantu mengurangi dampak negatif disorganisasi keluarga pada kesejahteraan dan perkembangan remaja.
Dalam konteks ini, artikel ini bertujuan untuk menyajikan tinjauan literatur tentang dampak disorganisasi keluarga bagi remaja. Tinjauan ini akan menggambarkan dampak yang terkait dengan kesejahteraan emosional, perkembangan sosial, prestasi akademik, dan perilaku berisiko remaja. Diharapkan bahwa pemahaman yang lebih baik tentang dampak ini akan memberikan wawasan yang berharga bagi praktisi, pendidik, dan orang tua dalam menghadapi tantangan yang dihadapi oleh remaja yang tumbuh dalam lingkungan keluarga yang tidak
Hasil Pembahasan
1. Usia remaja menurut WHO
Menurut World Health Organization (WHO), remaja adalah penduduk dalam rentang usia 10-19 tahun. Namun, menurut Menteri Kesehatan RI tahun 2010, batas usia remaja adalah antara 10 sampai 19 tahun. Terdapat juga penelitian terkini yang menunjukkan batasan usia remaja bisa naik menjadi 24 tahun. Fase remaja sendiri berlangsung antara umur 12 tahun sampai 21 tahun bagi wanita dan 13 tahun sampai 22 tahun bagi pria. Fase remaja adalah suatu periode transisi dari masa awal anak-anak hingga dewasa, di mana terjadi perubahan fisik yang cepat, pertambahan berat dan tinggi badan, perubahan bentuk tubuh, serta perkembangan karakteristik seksual. Ada tiga fase remaja berdasarkan perkembangan tahap usianya, yaitu:
1. Fase Remaja Awal (Usia 10-13 Tahun)
– Masa remaja awal terjadi di antara usia 10-13 tahun.
– Selama tahap ini, anak-anak sering kali mulai tumbuh lebih cepat dan mengalami tahap awal pubertas.
– Baik anak laki-laki maupun perempuan akan mengalami pertumbuhan fisik yang signifikan dan minat seksual yang meningkat.
2. Fase Remaja Pertengahan (Usia 14-17 Tahun)
– Fase remaja pertengahan terjadi di antara usia 14-17 tahun.
– Pada tahap ini, remaja mengalami perubahan fisik dan emosional yang lebih besar.
– Remaja mulai mengeksplorasi identitas diri dan mencari jati diri mereka.
3. Fase Remaja Akhir atau Dewasa Muda (Usia 18-24 Tahun)
– Fase remaja akhir atau dewasa muda terjadi di antara usia 18-24 tahun.
– Pada tahap ini, remaja mulai memasuki dunia kerja dan mandiri secara finansial.
– Mereka juga mulai membangun hubungan yang lebih serius dan mempertimbangkan untuk menikah
2. Pengertian Disorganisasi keluarga
Keluarga merupakan unit sosial terkecil yang memberikan pondasi bagi perkembangan perilaku dan sikap seorang remaja. Keluarga juga memberikan pengaruh yang menentukan watak dan kepribadian seorang remaja. Dalam keluarga anak mendapat ransangan, hambatan, atau pengaruh-pengaruh dalam pertumbuhan dan perkembangannya, baik perkembangan biologisnya maupun perkembangan jiwanya.
Dalam keluarga anak akan mempelajari norma dan aturan dalam hidup bermasyarakat. Anak dilatih tidak hanya mengenal, tetapi juga menghargai dan mengikuti norma-norma dan pedoman hidup dalam masyarakat melalui kehidupan dalam keluarga. Baik buruknya keluarga memberi dampak positif atau negatif pada perkembangan perilaku dan sikap anak menuju kedewasaan.
Keluarga menjadi unit terkecil didalam sebuah masyarakat, dan memerankan fungsi utama baik dalam pertumbuhan maupun perkembangan fisik, mental serta kepribadian anak. Menurut pakar ilmu jiwa yaitu Hurlok menyatakan bahwa keberhasilah dalam kehidupan berkeluarga termasuk didalamnya anak ditentukan oleh sejauh mana suami dan istri mampu menjalankan tugas-tugas sebagaimana mestinya. Artinya didalam suatu keluarga suami dan istilah yang harus menjalankan fungsi-fungsi sebagaimana mestinya guna untuk mencegah terjadinya disorganisasi dan itu menjadi salah satu problem sosial yang terjadi dimasyarakat.
Fungsi keluarga tidak terbatas pada penerus keturunan saja. Dalam hal pendidikan, keluarga memegang peranan yang sangat penting. Segala pengetahuan dan kecerdasan intelektual yang dimiliki oleh manusia pertama kali didapatkan dari orang tua dan keluarganya.
Keluarga harus mempersiapkan dan menyediakan segala kebutuhan sehari-hari, mulai dari sandang, pangan, hingga papan. Setiap anggota keluarga harus saling membantu satu sama lain. Jika kewajiban dan hak-hak tersebut tidak dipenuhi, tidak akan mungkin tercipta keluarga yang sejahtera. Hal ini dapat memicu terbentuknya disorganisasi keluarga.
Undang-Undang Nomor 10 tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera menyatakan bahwa: “Keluarga sejahtera adalah keluarga yang dibentuk berdasarkan atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan hidup spiritual dan materil yang layak, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki hubungan yang serasi, selaras, dan seimbang antar anggota keluarga.”
Keluarga adalah struktur kelembagaan yang turut berperan dalam kehidupan masyarakat. Perannya dapat berkembang melalui tugas dan fungsi tertentu seperti fungsi pengaturan seksual, fungsi reproduksi, fungsi sosialisasi, fungsi afeksi, fungsi penentuan status, fungsi perlindungan, dan fungsi ekonomi.
Keluarga merupakan kelompok sosial yang memiliki karakteristik tinggal bersama, terdapat kerjasama ekonomi serta terjadi proses reproduksi. Terdapat tiga jenis keluarga yaitu: pertama, keluarga inti yang berisikan ayah ibu dan anak ini merupakan skub terkecil dari keluarga. Kedua, keluarga konjugal merupakan perluasan dari keluarga inti yaitu adanya anak istri ayah dan keluarga dari keduanya. Ketiga, keluarga luas ini merupakan cangkupan keluarga besar yang sudah adanya paman, bibi, sepupu dan lain sebagainya.
Disorganisasi keluarga diartikan sebagai perpecahan keluarga sebagai suatu unit, karena anggota-anggotanya gagal memenuhi kewajibannya yang sesuai dengan peranan sosialnya. Kehidupan keluarga yang sering terjadi percekcokan atau konflik di antara anggotanya menyebabkan berkurangnya keharmonisan dan keutuhan rumah tangga sehingga anak menjadi korban dan mencari pelarian di luar kehidupan keluarga. Beberapa anak yang memiliki perilaku menyimpang berawal dari rasa kesal, kecewa, atau tidak puas tinggal di rumah yang kemudian melampiaskannya dalam pergaulan yang negatif. Disorganisasi atau perpecahan dalam sebuah keluarga merupakan jalan ke arah perubahan karena di antara satu sama lain sudah tidak ada lagi kecocokan.
Pada dasarnya, disorganisasi ini tidak selalu berujung pada perceraian. Karena ada yang lebih memilih untuk menjaga jarak atau menghindar. Kondisi inilah yang memunculkan berbagai dampak negatif dalam diri anggota keluarga. Salah satu dampak disorganisasi keluarga adalah timbulnya masalah ekonomi, kegagalan orangtua dalam memenuhi kebutuhan keluarganya bisa menimbulkan permasalahan ekonomi baru, seperti kemiskinan dan tindakan kriminal.
Selain berdampak pada kondisi ekonomi, disorganisasi keluarga juga bisa menyebabkan gangguan psikologis dalam diri anak maupun orangtua. Misal, anak yang trauma dengan perceraian orangtuanya akan sulit membuka diri pada orang lain terutama lawan jenis. Dampak disorganisasi keluarga lainnya adalah gangguan komunikasi di antara anggota keluarga. Sehingga kondisi keluarga pun menjadi tidak nyamandisorganisasi keluarga dan dampak negatifnya pada anggota keluarga, terutama anak-anak.
3. Dampak disorganisasi keluarga pada remaja
Hasil penelitian lapangan yang kita lakukan narasumber mengatakan “ bahwa saat orang tua cerai dia selalu menggeluh dan mencaci maki dirinya sendiri menggapa ini bisa terjadi kepada dirinya. Kenapa dirinya di lahirkan didunia kalau hanya untuk melihat orang tua bertengkar dan bercerai, dirinya selalu mencari pelarian dengan meminum-minuman keras emosinya.narasumber menuturkan “ terkadang saya melampiaskanya dengan minum-minuman keras bersama teman-teman saya, ketika teringat akan peristiwa. Narasumber kedua menuturkan “ berbeda dengan saya saya terkadang mengurung diri dan tidak ingin bertemu siapa-siapa, hanya menangis meratapi nasib saya. Dulu saya pernah berpikir untuk mengakhiri.
Penyebab disorganisasi keluarga
Beberapa jenis pola hubungan yang umumnya dapat menyebabkan disorganisasi keluarga adalah:
A. Orang tua yang mengalami masalah kecanduan
Adiksi bisa berupa kecanduan minuman keras, obat terlarang, belanja, judi, bahkan gila kerja. Bila terus berlangsung di depan anak, kondisi-kondisi ini akan sangat mempengaruhi mereka. Biasanya yang melakukan ini adalah oknum sang ayah yang sering keluar malam dan minum-minuman keras, berjudi dan keluuar malam, narasumber kami mengatakan “ ayah saya dulu sering sekali pulang malam dalam keadaan mabuk, sehingga kami sering dipukuli waktu itu, dqan karena berjudi semua perhiasan iu ayah jual untuk berjudi. Tandasnya.
B. Kekerasan fisik
Kekerasan fisik juga dapat menjadi penyebab disorganisasi keluarga. Tidak jarang salah satu atau kedua orang tua menggunakan ancaman atau melakukan tindak kekerasan fisik sebagai cara mengontrol anggota keluarga, terutama anak.
Anak-anak yang pernah menyaksikan atau mengalami kekerasan dalam rumah tangga akan hidup dalam ketakutan. Kondisi ini tentu akan berpengaruh pada perkembangan mental mereka.
Seperti yangtelah kita kemukakan pada point a tadi bahwasannya narasumber kami sering mengalaminya setelah bapaknya pulang dari minum dan berjudi, bahkan ibunya pun tak luput dari tindak kekerasan tersebut, ” ibu saya juga sering dipukuli.” Tandasnya.
C. Eksploitasi anak
Tanpa sadar, orang tua bisa saja mengeksploitasi anak-anaknya dengan memperlakukan mereka seperti barang miliknya. Kebiasaan ini menuntut agar anak merespons pada kebutuhan fisik atau emosional orang tuanya.
Padahal, orang tualah yang seharusnya mencukupi kebutuhan fisik atau emosional anaknya. Bukan sebaliknya.
D. Masalah finansial
Disorganisasi keluarga dapat terjadi ketika salah satu atau kedua orang tua tidak mampu mencukupi kebutuhan pokok, finansial, maupun emosional dari keluarganya. Hal ini yang paling sering dijumpai pada femnomena disorganisasi keluarga. Bahwasannya memang masalah finansiallah yang paling sering mempengaruhi, berkaca dari narasumber kami sebenarnya masalah ini masih berkaitan dengan penyebab penyebab sebelumnya, yakni kecanduan minum, berjudi dan bahkan ada yang kecanduan perempuan, yang mengakibatkan keuangan yang tidak stabil dan bahkan seringkali berhutang sana sini untuk sekedar makan saja, karena faktor ini juga banyak menimbulkan pertengkaran dalam rumah tangga khusunya suami dan juga sang istri.
E. Pola asuh otoriter
Salah satu atau kedua orang tua menerapkan pola asuh yang sangat otoriter terhadap anak. Orang tua seperti ini sering memegang teguh norma-norma tertentu, misalnya norma agama dan budaya.
Mereka akan menuntut anak-anaknya untuk senantiasa tunduk pada norma-norma tersebut tanpa pengecualian. Kondisi ini bisa memicu pemberontakan dari anak hingga berujung menjadi penyebab disorganisasi keluarga.
F. Sifat perfeksionis
Sifat perfeksionis dianggap bisa menjadi penyebab disorganisasi keluarga. Sebab, orang tua yang memiliki sifat ini kerap memberikan tekanan ekstra terhadap pasangan atau anaknya untuk melakukan hal-hal yang sulit digapai.
Perfeksionisme dianggap tidak realistis dan bisa berdampak buruk pada keluarga. Anak-anak yang diasuh oleh orangtua perfeksionis bisa kehilangan semangat, mengalami penurunan rasa percaya diri, hingga merasa kesulitan belajar.
G. Komunikasi yang buruk
Penyebab disorganisasi keluarga yang perlu diatasi segera adalah komunikasi yang buruk antaranggota keluarga.
Perlu diketahui, jika ada masalah di dalam keluarga, komunikasi yang terbuka dan jujur bisa menjadi solusinya. Disorganisasi keluarga menyebabkan anggota keluarga tidak bisa atau bahkan tidak mau mendengar apa yang dikatakan oleh anggota lainnya.
Dalam beberapa kasus, anggota keluarga bahkan bisa menghindari komunikasi langsung dengan anggota lainnya yang menjadi sumber masalah.
4. Contoh disorganisasi keluarga
Ada banyak contoh disorganisasi keluarga yang bisa kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Berikut adalah contoh sekaligus ciri-ciri disorganisasi keluarga yang dapat ditemukan di sekitar kita.
A. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)
B. Buruknya komunikasi
C. Sering bertengkar hebat hingga pisah ranjang
D. Perceraian
E. Hubungan di luar nikah
F. Anggota keluarga toxic
G. Terganggunya kejiwaan.
5. Cara mencegah kenakalan remaja dampak dari keharmonisan orang tua
Berdasarkan hasil penelitian, cara mencegah kenakalan remaja dapat dilakukan dengan cara memperkuat hubungan antara remaja dan orangtua, melalui pendidikan moral dan karakter, serta pembinaan lingkungan yang positif. Para orangtua dapat memberikan perhatian dan dukungan yang cukup kepada remaja, serta memfasilitasi aktivitas positif yang dapat menghindarkan remaja dari perilaku kenakalan remaja. Selain itu, pihak sekolah dan masyarakat juga dapat membantu dengan memberikan program-program yang bertujuan untuk mempromosikan perilaku positif dan mencegah perilaku kenakalan remaja.
6. Cara mengatasi kenakalan remaja yang sudah terjadi
Mengatasi kenakalan remaja yang sudah terjadi membutuhkan pendekatan yang holistik dan melibatkan banyak pihak. Remaja dapat diberikan rehabilitasi melalui konseling dan terapi, serta dukungan keluarga dan lingkungan yang positif. Pendidikan dan pembinaan moral dan karakter juga dapat membantu remaja memahami.
7. Faktor-faktor yang mempengaruhi kenakalan remaja berbeda di antara kelompok remaja yang berbeda, seperti remaja dari keluarga dengan kondisi ekonomi yang berbeda atau remaja dari berbagai latar belakang budaya.
Studi-studi sebelumnya menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kenakalan remaja dapat berbeda di antara kelompok remaja yang berbeda. Remaja yang berasal dari keluarga dengan kondisi ekonomi yang buruk atau lingkungan sosial yang berisiko dapat mengalami tekanan dan stres yang lebih besar dan memiliki peluang yang lebih besar untuk melakukan kenakalan remaja. Selain itu, latar belakang budaya dapat mempengaruhi persepsi remaja tentang kenakalan remaja dan perilaku yang diterima dalam masyarakat. Oleh karena itu, penting untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kenakalan remaja di antara kelompok remaja yang berbeda untuk dapat mengembangkan strategi pencegahan dan rehabilitasi yang tepat sesuai dengan kebutuhan mereka.
8. Pengaruh teknologi dan media sosial terhadap kenakalan remaja?
Perkembangan teknologi dan media sosial memberikan pengaruh yang signifikan pada perilaku remaja, termasuk perilaku kenakalan. Remaja saat ini terpapar pada berbagai jenis konten yang tidak pantas melalui internet dan media sosial, seperti akses ke situs porno, perjudian online, dan kekerasan dalam video game. Selain itu, penggunaan media sosial juga dapat meningkatkan tekanan sosial yang dirasakan oleh remaja, seperti tekanan untuk memiliki penampilan yang sempurna dan popularitas yang tinggi. Oleh karena itu, perlu dianalisis pengaruh teknologi dan media sosial terhadap perilaku kenakalan remaja dan bagaimana mengatasi dampak negatif dari penggunaan teknologi dan media sosial pada remaja.
Penutup
Remaja merupakan masalah yang kompleks dan memerlukan pendekatan yang holistik dari berbagai pihak. Faktor-faktor yang mempengaruhi kenakalan remaja sangat beragam, termasuk faktor keluarga, lingkungan, genetik, teknologi, dan budaya. Oleh karena itu, diperlukan upaya pencegahan yang lebih proaktif dan strategi rehabilitasi yang tepat sasaran. Dalam mencegah kenakalan remaja, perlu dilakukan pendidikan moral dan karakter di sekolah serta dukungan keluarga dan lingkungan yang positif. Selain itu, perlu ditingkatkan pengawasan dan kontrol terhadap penggunaan teknologi dan media sosial oleh remaja. Dalam mengatasi kenakalan remaja, perlu dilakukan identifikasi penyebab dan rehabilitasi melalui terapi dan dukungan keluarga dan lingkungan yang positif. Pendidikan dan budaya juga dapat memainkan peran penting dalam mencegah dan mengatasi kenakalan remaja.
Dalam menghadapi tantangan kenakalan remaja, diperlukan kerjasama dan sinergi dari berbagai pihak, seperti keluarga, sekolah, masyarakat, dan pemerintah. Upayaupaya pencegahan dan rehabilitasi yang holistik dan tepat sasaran dapat membantu mengurangi tingkat kenakalan remaja dan membangun generasi muda yang lebih berkualitas dan positif. Oleh karena itu, perlu ada peran aktif dari masyarakat dan pemerintah dalam menyediakan program-program yang bertujuan untuk mempromosikan perilaku positif dan mencegah perilaku kenakalan remaja. Dengan kerjasama dan dukungan yang tepat, diharapkan dapat tercipta masyarakat yang lebih harmonis dan beradab, serta generasi muda yang lebih kuat dan tangguh.
DAFTAR PUSTAKA
Pratiwi, A. S., & Utami, A. W. (2017). Faktor-faktor yang mempengaruhi kenakalan remaja: Sebuah kajian literatur. Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan, 5(2), 93-104. Rachmawati, A., & Wijayanti, F. (2019). Peran keluarga dalam mencegah kenakalan remaja. Jurnal Konseling Indonesia, 3(1), 37-47.
Saragih, S. (2017). Pengaruh lingkungan sekolah terhadap kenakalan remaja. Jurnal Penelitian Pendidikan, 34(2), 109-117.
Sumartono, A., & Oktavianingsih, R. (2019). Pengaruh pengawasan orang tua terhadap kenakalan remaja. Jurnal Psikologi Pendidikan dan Konseling, 5(1), 1- 10.
Susanto, T. A., & Tirtawati, T. (2020). Pengaruh teman sebaya dan media sosial terhadap kenakalan remaja. Jurnal Psikologi Undip, 19(2), 93-103.
Wulandari, D., & Mukaromah, R. (2018). Implementasi pendidikan karakter dalam mencegah kenakalan remaja. Jurnal Pendidikan Karakter, 8(1), 27-35.
Centers for Disease Control and Prevention. (2021). Sistem Pemantauan Risiko Perilaku Remaja (YRBSS).
https://www.cdc.gov/healthyyouth/data/yrbs/index.htm Diakses Tanggal 28 Februari 2023
https://eprints.uny.ac.id/8119/4/bab%205%20-08520244018.pdf (Diakses tanggal 24 mei 2023)
https://perpustakaan.komnasperempuan.go.id/web/index.php?id=502&p=show_detail(Diakses tanggal 24 mei 2023)
https://scholar.unand.ac.id/108820/2/BAB%20I%20Pendahuluan.pdf(Diakses tanggal 24 mei 2023)
https://scholar.unand.ac.id/47346/2/BAB%20I%20PENDAHULUAN.pdf(Diakses tanggal 24 mei 2023)
https://www.gramedia.com/literasi/klasifikasi-remaja/(Diakses tanggal 24 mei 2023)
No Comments
Leave a comment Cancel