Waktu berulang, sinar matahari yang terbit mengintip malu di celah-celah jendela usang dan berjaring. Kicauan burung, ayam berkokok, dan sapu lidi yang beradu peran menambahkan kesan sunyi dan nyaman dalam pelukan selimut tebal. Bagi Anjani, hari ini adalah hari yang tidak ingin Ia jalani. Sudah 12 bulan hidupnya seperti telah digantungkan dalam harapan anak-anak manis dan riang di desa yang sepertinya tidak akan semua orang tau. Namun di sudut kota lain, keluarga yang merindukannya juga menggantungkan harapan padanya untuk segera kembali. Kembali kepada mimpi-mimpinya yang lain.

“Selamat pagi, Bu Anjani. Sudah siap menikmati acara perpisahan hari ini?” tiba-tiba suara lembut sosok Ibu lainnya menyadarkan lamunannya.

“Selamat pagi Bu Maria. Kali ini kembali memanggil dengan tambahan kata ‘Bu’ ya?” pedih Anjani.

“Sudah 12 bulan, tidak terasa ya Bu?” dalam pertanyaannya, Bu Maria, warga lokal yang menemani hidup Anjani selama 1 tahun berhati-hati sekali untuk bertanya kepada perempuan yang telah Ia anggap sebagai anak kandungnya sendiri.

“Aku tidak pernah siap untuk hari ini, Bu.”

Anjani tidak dapat menahan tangisannya. Jelas sudah Ia tidak akan pernah siap untuk perpisahan ini. Barangkali siapa yang siap dengan sebuah perpisahan? Kita tidak akan pernah benar-benar siap.

“Ibu yakin semua anak-anak juga tidak siap seperti dirimu, Nak. Tapi kamu memiliki keluarga lain yang jauh semakin tidak siap jika engkau tidak segera kembali.”

Anjani harus segera kembali kepada kesadarannya. Ia bergegas bersiap mengenakan pakaian guru terakhirnya dan mengangkat tas-tas barang pribadinya. Ternyata benar-benar akhir.

“Mari kita berangkat, Bu. Sepertinya Lia akan sangat menunggu kita.”

Pagi itu, suasana mengharukan memenuhi ruangan sempit sepetak tersebut. Bingkai foto Anjani bersama anak-anak manisnya dengan raut senyum yang indah menambahkan atmosfer bahagia di antara keluarga barunya. Lagu perpisahan berkumandang menandakan bahwa ini adalah benar-benar akhir. Masa pengabdiannya sebagai seorang pendidik di desa ini sudah berakhir.

“Bu Anjani, jangan lupakan kami ya?” suara parau sehabis menangis terdengar dari mulut Kia.

“Tentu tidak, cantik. Bagaimana mungkin Ibu akan melupakan jantung-jantung yang Ibu letakkan di sini?” senyum tegar Ia palsukan di depan anak-anaknya.

Suara klakson mobil memecah suasana terharu tersebut menjadi suasana yang menyedihkan. Anak-anaknya menangis dan mendekap erat Anjani.

“Kalau Ibu berjalan menuju mobil, boleh kalian semua melambaikan tangan dan tersenyum?”

“Boleh, Bu.” jawab mereka kompak.

Anjani mulai berjalan ke mobil. Pelabuhan terakhirnya. Sesekali Ia melihat anak-anaknya tersenyum. Senyum mereka adalah alasan Anjani hidup selama 12 bulan di desa tersebut.

Assalamu’alaikum.”

Wa’alaikumussalam. Hati-hati Ibu!” berlarian mereka mengejar mobil dengan plat BL sambil tersenyum.

Hari ini, usai sudah cerita Anjani dengan desa ini. Kesempatan memang tidak melulu datang berkali-kali tapi untuk hal ini, Ia tidak putus berharap.

Comments to: TUTUP BUKU

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Attach images - Only PNG, JPG, JPEG and GIF are supported.